SAAT ini kita berada di ambang pintu revolusi teknologi yang secara fundamental akan mengubah cara hidup kita, cara kita bekerja, dan cara kita bekerja satu sama lain dalam lingkup domestik maupun mondial.
Ada satu hal yang paling menonjol dalam derap perubahan ini, yakni dunia harus merespons perubahan tersebut dengan cara yang terintegrasi dan komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, baik itu pelaku politik global, mulai dari sektor pemerintah sampai sektor swasta, akademik, perusahaan, dan tentu saja masyarakat luas.
Ekonomi global saat ini pun sedang berada pada puncak perubahan besar yang sebanding dengan munculnya Revolusi Industri Pertama, Kedua, dan Ketiga. Sekarang kita segera masuk ke satu tahapan revolusi industri yang dinamakan Revolusi Industri 4.0.
Pada awalnya, istilah Revolusi Industri 4.0 berasal dari sebuah proyek strategis teknologi canggih Pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pada semua pabrik di negeri itu. Revoluasi Industri 4.0 ini kemudian dibahas kembali pada 2011 di Hannover Fair, Jerman. Pada Oktober 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan Revolusi Industri 4.0 kepada Pemerintah Federal Jerman.
Prof Bob Gordon dari Northwesten University, Illinois, USA, juga memberikan beberapa tanggapan mengenai Revolusi Industri 4.0 yang dirangkum oleh Prof Paul Krugman dari Princeton University, New Jersey, USA (penerima Nobel Price on Economic) pada 2008.
Revolusi industri
Pada perkembangan berikutnya, April 2013, Prof Krugman mencatat beberapa hal tentang perkembangan revolusi industri yang terjadi sejak abad ke-17:
Revolusi Industri Pertama (1750-1830), ditandai dengan penemuan mesin uap dan kereta api. Penggunaan mesin uap pada waktu itu dimaksudkan untuk menggantikan tenaga manusia dan hewan dalam produksi. Revoluasi industri ini pada saat itu juga berguna untuk melaksanakan mekanisasi sistem produksi. Mekanisasi di sini bermakna penggunaan tenaga mesin dan sarana-sarana teknik lainnya untuk menggunakan tenaga manusia dan hewan dalam proses produksi.
Revolusi Industri Kedua (1870-1900), ditandai dengan penemuan listrik, alat komunikasi, bahan-bahan kimia, dan minyak. Revolusi industri pada tahap ini dapat digunakan untuk melaksanakan konsep produksi massal.
Revolusi Industri Ketiga (1960 hingga sekarang), ditandai dengan penemuan komputer, internet, dan telepon genggam. Revolusi industri ketiga ini dapat digunakan untuk otomatisasi proses produksi dalam kegiatan industri.
Saat ini kita memasuki era baru, yaitu Revolusi Industri Keempat atau sering disebut dengan istilah populer Revolusi Industri 4.0. Revolusi industri gelombang keempat ini tetap bertopang pada Revolusi Industri Ketiga.
Namun, Revoluasi Industri 4.0 mulai ditandai dengan bersatunya beberapa teknologi, sehingga kita melihat dan merasakan suatu era baru yang terdiri atas tiga bidang ilmu yang independen, yaitu fisika, digital, dan biologi.
Dengan komposisi yang demikian, maka Revolusi Industri 4.0 mempunyai potensi memberdayakan individu dan masyarakat, karena revolusi industri fase ini dapat menciptakan peluang baru bagi ekonomi, sosial, maupun pengembangan diri pribadi. Tetapi Revolusi Industri 4.0 juga bisa menyebabkan pengerdilan dan marginalisasi (peminggiran) beberapa kelompok dan ini dapat memperburuk kepentingan sosial bahkan kohesi sosial, juga dapat menciptakan risiko keamanan dan dapat pula merusak interelasi (hubungan) antarmanusia.
Agar mudah memahaminya, Revolusi Industri 4.0 ini sebetulnya memiliki ciri tersendiri, yaitu transformasi yang berbeda dengan Revolusi Industri I, II, dan III.
Pada pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada Januari 2016 di Davos, Swiss, Revolusi Industri Keempat menjadi fokus utama pembahasan dan perdebatan. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang membedakan Revolusi Industri 4.0 dengan revolusi industri sebelumnya.
Tiga hal tersebutlah menjadi dasar mengapa transformasi yang terjadi saat ini bukan merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari revolusi digital, melainkan menjadi revolusi transformasi baru (tersendiri), dengan alasan: Pertama, inovasi dapat dikembangkan dan menyebar jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Dengan kecepatan ini terjadi terobosan baru pada era sekarang, pada skala eksponensial, bukan pada skala linear;
Kedua, penurunan biaya produksi yang marginal dan munculnya platform yang dapat menyatukan dan mengonsentrasikan beberapa bidang keilmuan yang terbukti meningkatkan output pekerjaan. Transformasi dapat menyebabkan perubahan pada seluruh system produksi, manajemen, dan tata kelola sebuah lembaga;
Dan, ketiga, revolusi secara global ini akan berpengaruh besar dan terbentuk di hampir semua negara di dunia, di mana cakupan transformasi terjadi di setiap bidang industri dan dapat berdampak secara menyeluruh di banyak tempat.
Memperbaiki kualitas hidup
Seiring dengan itu, para ahli pun berpendapat bahwa Revolusi Industri 4.0 dapat menaikkan rata-rata pendapatan per kapita di dunia, memperbaiki kualitas hidup, dan bahkan memperpanjang usia manusia (meningkatnya usia harapan hidup).
Di sisi lain, penetrasi alat-alat elektronik, seperti telepon genggam (handphone) yang harganya semakin murah dan sudah sampai ke berbagai pelosok dunia, baik yang penduduknya mempunyai pendapatan tinggi maupun rendah. Pada masa ini teknologi begitu menyentuh ranah pribadi, pengatur kesehatan, pola diet, olahraga, mengelola investasi, mengatur keuangan melalui mobile banking, memesan taksi, memanggil Go-Jek, pesan makanan di restoran (go-food), beli tiket pesawat, mengatur perjalanan, main game, menonton film terbaru, dan sebagainya. Semua itu kini bisa dilakukan hanya melalui satu perangkat teknologi saja, karena datanya sudah disimpan di “langit”.
Dengan realitas yang seperti itu, kita dapat membayangkan bahwa dalam bidang bisnis dan produksi, Revolusi Industri 4.0 akan meningkatkan efisiensi, terutama dalam bidang supply, logistik, dan komunikasi, di mana biaya keduanya akan terus menurun.
Syukurnya, saat ini Pemerintah Indonesia sudah mulai mengarahkan untuk kompetensi peningkatan keahlian tenaga kerja melalui program pendidikan vokasi link and match. Artinya, pendidikan dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan relevansi sekolah kejuruan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dan dunia industri.
Bagi perusahaan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi dalampendidikan vokasi, pemerintah sedang menyiapkan insentif berupa superdeductible tax (yang diakui oleh kantor pajak untuk mengurangi penghasilan bruto).
Nah, kembali ke wacana Revolusi Industri 4.0, menurut Prof Krugman, sebagaimana Revolusi Industri Pertama, Kedua, dan Ketiga, Revolusi Industri 4.0 ini pun diyakini bakal bermanfaat signifikan untuk menaikkan produktivitas.
Memang terdapat beberapa keraguan terhadap masa depan Revolusi Industri 4.0 yang ditulis oleh Prof Paul Krugman pada 2013 (A New Industrial Revolution; the Rise of the Robot) bahwa penggunaan mesin pintar memang dapat meningkatkan PDB (Product Domestic Brutto). Namun, pada saat yang sama, hal tersebut akan dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk orang-orang yang pintar sekalipun. Tapi, semua itu tidak terjadi seketika, pasti ada tahapan-tahapannya. Selama proses yang panjang itu terjadi, maka perdebatan tentang Revolusi Industri 4.0 akan terus berlangsung.
Kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang tidak bertambah dengan cepat dan menurunnya peran manufaktur, menyisakan pertanyaan tentang kehebatan Revolusi Industri 4.0. Belum lagi, misalnya, Revolusi Industri 4.0 ini masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatifnya terhadap penciptaan lapangan kerja.
Menjelang akhir risalah ini, menarik juga kita renungkan apa yang disajikan majalah mingguan Amerika Serikat, The Economist pada 6 April 2018. Majalah ini menulis laporan utamanya dengan judul “Prihatin”, karena era Revolusi Industri 4.0 menyebabkan hilangnya privasi seseorang akibat penyebaran data digital secara mudah. Tiada lagi tempat bagi data untuk disembunyikan.
Satu hal yang sudah pasti bahwa Revolusi Industri 4.0 telah datang di tengah-tengah kita dan kita tak mungkin lagi menolak atau menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan di tengah kemampuan atau bahkan ketidakmampuan kita menepis dampak negatifnya. Tapi masyarakat Aceh yang menjalankan syariat Islam secara kafah dan memiliki ketahanan budaya yang kuat, saya yakin, akan mampu menepis, minimal memperkecil dampak negatif dari Revolusi Industri 4.0 ini.
(serambinews)